Iklan Terbaru :
  • pasang iklan

APATHEIA ( 7 )

Kamis, 11 Juni 2009

Semakin hari, aku semakin tidak memperdulikan sekitarku. Di mataku, orang – orang yang berada di sekelilingku penuh dengan kebodohan yang menggelikan. Aku jadi malas bergaul dengan mereka. Tapi dibalik rasa tidak puasku, aku sangat kesepian dan seringkali tidak bisa menerima diriku sendiri.
Hingga suatu hari. Aku pulang dari sekolah dengan plastik bening berisi air dan beberapa ekor cebong yang kuambil dari lubang di halaman belakang sekolah yang dipenuhi air hujan. Aku menyukainya. Tapi, teman – temanku tidak. Mereka menganggapku goblok karena membawa pulang anak kodok. Beramai – ramai mereka mengejekku.
“Kamu mau ternak kodok, ya?”
“Bocah banci, nggak bisa mancing, ada anak kodok ya dibawa pulang”
Setiap ejekan dibarengi dengan tawa yang keras dan menyakitkan. Tapi aku diam saja dan terus berjalan pulang. Mungkin karena aku tidak melayani, mereka menjadi semakin jengkel kepadaku. Rian, anak yang bertubuh tinggi besar, memecahkan plastikku dengan ujung jarinya. Air tumpak membasahi celanaku. Cebong – cebong itu menggelepar di dekat kakiku. Keterlaluan sekali. Aku menjadi sangat marah. Dan dengan kemarahan yang membuatku hampir menangis, aku mendorong anak itu sampai terjungkal.
“Juh, bajingan kowe! Titenono, tak embat ndhasmu!”, ancam Rian sambil berdiri dan mengibas – ngibaskan tangannya yang penuh dengan debu jalan.
Begitu mengetahui kemarahan Rian, teman – temannya yang lain langsung memanas – manasinya.
“Ayo yan, klethak wae”
“Jotos yan, bocah kurang ajar”
Rian yang memang sudah marah, semakin panas. Dia mendorong tubuhku. Aku balas mendorongnya. Teman – temannya terus berteriak memanas – manasinya. Kami terus saling dorong sampai akhirnya dia memukul, dengan kepalan tangannya yang besar, kepalaku berkali – kali. Aku menangis meraung – raung karena rasa sakit dan malu. Melihatku demikian, mereka tertawa dan kembali mengolok – ngolokku. Kepalaku terasa sakit karena ejekan mereka. Aku menangis semakin keras.
Pada saat itulah terdengar bentakan dari arah belakangku.
“Hei, wis. Mosok bocah limo ngroyok bocah siji. Bubar, bubar!”
Itu suara mbak Ajeng. Aku hafal betul suaranya. Dia juga baru pulang dari sekolah. Anak – anak itu tidak begitu takut kepada Ajeng. Mereka masih mengolokku dan beberapa dari mereka mendorong kepalaku sambil berlalu. Mbak Ajeng mendekat kepadaku.
“Cup.. cup, wis menengo. Ayo gek ndang mulih”, kata dia menenangkanku. Aku masih sesenggukan. Hatiku masih sakit.
Ajeng anak yang baik. Dan inilah yang dilakukannya: Dia membungkukkan badan, mendekatkan wajahnya ke mukaku. Aku merasakan hembusan nafasnya saat dia berkata: “Ayo gek ndang mulih”. Sambil merapikan rambutku dan menyeka air mataku.
Aku kaget, benar, sepertinya aku baru tersadar. Aku baru menyadari keadaanku yang penuh debu dan menangis sesenggukan karena kalah berkelahi. Dan kini di depanku, seorang cewek mencoba menenangkanku. Seorang cewek. Aku malu sekali. Aku membalikkan tubuhku dengan kasar, mengambil tas sekolahku yang terlempar dan berlari pulang. Sepertinya mbak Ajeng tidak memusingkan hal itu.

0 komentar:

Posting Komentar