Hari – hari berikutnya, hujan masih juga turun. Terkadang dalam sehari hujan tidak pernah berhenti. Aku sudah tiga hari ini tidak keluar rumah. Tapi sore ini aku harus keluar rumah. Berada di dalam rumah selama tiga hari tanpa bertemu dengan teman – teman bermain membuatku seperti kehilangan semangat.
Tuhan seperti mengerti kesedihanku. Hujan berhenti seolah – olah diperintahkanNya. Segala puji bagi Tuhan yang telah menghentikan hujan, walau sejenak. Tak lama setelah aku sampai di kos – kosan teman – temanku, hujan turun lagi. Mula – mula gerimis dan secara berangsur turun semakin deras.
Baiklah. Aku sudah menghabiskan tiga hari di kamar dan kini terjebak hujan di kos – kosan. Mengapa aku tidak menginap sekalian?
Selalu ada acara yang menarik di kos – kosan. Dengan segala keterbatsan masih ada cara untuk bisa tertawa. Dan bersenang – senang tentunya.
Bambang menjerang air untuk bikin kopi. Dan sambil menunggu air mendidih, kami main gitar dan bernyanyi bersama. Jemu bermain gitar, kita main kartu sampai larut. Sampai tidak ada acara lagi kecuali tidur.
Celakanya, aku bangun kesiangan. Padahal, jam setengah delapan pagi aku harus mengantarkan ibu ke tempat dia mengambil uang pensiunnya. Dan sekarang sudah jam 07 lebih 10 menit. Aku harus segera pulang atau akan kena marah ibuku. Kukeluarkan sepeda dan bersiap untuk pulang.
“Pulanglah dan tidak usah ikut ngopi”
Bambang, yang tukang bikin kopinya anak kos, menyindirku. Aku tergoda. Dan selama beberapa menit kemudian aku masih di tempat itu. Sampai di rumah aku kena marah ibuku.
Aku menunggu ibuku antri untuk mendapatkan uang pensiunannya. Ibuku hanyalah seorang pegawai kecil dan uang pensiunannya juga kecil. Tapi bagi kami, uang yang kecil itu sangat berarti.
“Mas kesinilah. Temani aku bicara”. Suara dari seorang kakek mengagetkanku. Aku mendekat dan menjabat tangannya.
“Siapa yang diantar?”
“Ibu, pak”
“Oooooh, Ibumu pensiunan apa?”
“Ibu saya dari SMP V, pak”
“Wah bagus. Kamu masih sekolah?”
“Saya di tingkat akhir pak. Sebentar lagi KKN.”
“Bagus – bagus”
Sejenak kami saling diam. Tapi dari perbincangan kami yang tadi, dari logat bicara, bicaranya maksudku, aku berkesimpulan kalau dia bukan asli sini. Akupun menanyakan hal itu padanya.
“Bapak bukan asli sini ya?”
“Saya dari Surabaya. Saya baru pindah ke sini setelah pension.”
“Kok memilih kota terpencil seperti Pacitan, sih pak?”
“Kata mahasiswa saya, Pacitan itu tempatnya tentram. Tempat yang tepat untuk pensiunan seperti saya.”
“Bapak dulu mengajar?”
“Saya dulu mengajar Fisika di UNAIR. Baru bulan kemarin saya pensiun. Wah kamu tinggal di kota yang bagus lho.”
“Terima kasih pak. Eu ….”
Saya baru saja akan menanyakan sesuatu pada kakek itu. Tapi dia memotongku dengan perkataannya;
“Kamu jangan pernah minder hanya karena kamu dilahirkan di kota kecil. Mahasiswa – mahasiswa saya yang dari Pacitan itu pintar – pintar lho. Mereka bahkan lebih pintar daripada mahasiswa yang datang dari daerah lain.”
“Masa sih pak?”
“Lho, iya. Kamu datang ke rumah saya deh. Nanti saya beri data – datanya.”
“Memang bapak tinggal di mana?”
Pak pensiunan dosen itu tinggal di Barean, dekat pantai. Aku diberi nomor teleponnya juga.
“Dalam hidup, kita memerlukan keberanian diri kita sendiri. Kita harus berani mengambil risiko. Kalau tidak mending jadi peternak saja. Eh, peternaknya pakai tanda kutip lho. Peternak yang kerjanya Cuma makan, minum, tidur dan menumpahkan sperma”
Nah, dia mengutip perkataan Pramoedya Ananta Toer di harian KOMPAS. Tapi itu memang benar.
Seorang wanita setengah baya keluar dari kantor kecil itu.
“Itu istri saya. Dia dulu mahasiswa saya. Kita berselisih tiga belas tahun. Eh, siapa namamu?”
“Sulung, pak”
“Sulung Pranoto?”
“Sulung Hendrawan, pak”
“Sulung, kamu cakep banget sih jadi bocah”
Dia mengatakan pujian itu sambil menjabat tanganku dan menepuk – nepuk pipiku.
“Oke, sampai jumpa lagi, ya”
Aku jadi teringat pada Ajeng.
0 komentar:
Posting Komentar