Iklan Terbaru :
  • pasang iklan

APATHEIA ( 9 )

Sabtu, 13 Juni 2009

Kusodorkan tulisan tangan dari tugasku. Aku melanjutkan mengetik dan dia mendiktekannya. Benar – benar kejutan. Aku tidak pernah berharap akan bertemu lagi dengannya. Tapi setelah sekian lama, kini, dia berada dekat sekali denganku.
“Lalu mengapa kamu kuliah lagi di sini?”
“Eh, sebetulnya aku sudah bosan kuliah. Tapi mbak Retno maksa aku untuk kuliah lagi. Aku sih nurut saja. Yah, daripada nganggur ya.”
“Yang di Malang?”
“Jalan terus”
“Kuliah di dua tempat apa nggak lelah?”
Selanjutnya dan selanjutnya. Ajeng kuliah lagi di tempat yang sama denganku. Di saat yang sama dia juga tercatat sebagai mahasiswa penyetaraan di UM. Pulang pergi dari Malang ke Pacitan tak membuatnya kelihatan lelah.
Dan memuakkan sekali. Sepertinya aku mulai tertarik padanya. Cewek yang pintar selalu membuatku tertarik tanpa harus ada proses yang lama. D3 akuntasi di Jogja. Fisika di Universitas Negeri Malang. Dan kini matematika di STKIP, sudah lebih dari cukup untuk menunjukkan bahwa dia sangat cerdas. Aku menekan perasaan sukaku kepadanya dan sampai saat ini semuanya masih berjalan normal.
Kami semakin sering bertemu dan aku mulai mengerti sisi lain dari Ajeng. Dia ternyata tidak begitu pintar bergaul. Terlalu pendiam kurasa. Dia Cuma bicara yang perlu – perlu saja. Itupun diucapkan seperti kepada dirinya sendiri.
Memang dia memiliki teman satu dua. Tapi dia kelihatan sangat kesulitan untuk mendapatkan kawan baru. Kadang aku melihatnya dari kejauhan dan tampaknya dia cewek yang pemurung.
Bulan oktober. Setiap hari hujan turun atau setidaknya mendung hitam menggantung di langit. Kuliah baru saja berakhir. Aku ingin cepat – cepat pulang. Tapi keinginan itu tidak bisa terpenuhi karena aku lupa membawa payung. Terpaksa berhenti sejenak sampai hujan reda.
Tak berapa lama, anak – anak matematikapun berhamburan keluar dari ruang kelas. Tampak diantara mereka Ajeng yang bergegas ke arah tempat parkir sepeda. Dia membuka jok sepeda motornya dan sadar kalau tidak membawa mantel. Dia tampak kesal. Berdiri saja sambil melipatkan tangannya di dada. Mengetahui hal itu aku mendekatinya.
“Senasib ya”, sapaku.
“Eh, ya”, dia menyadari kehadiranku. Menjawab masih dengan nada kesal.
“Biasanya mantel itu tak pernah berpindah dari jok. Mungkin keponakanku mengambilnya untuk main – main. Moga – moga saja hujannya tidak lama.”
Kami menatap hujan yang sepertinya turun semakin deras.
“Mending hujan – hujanan saja ya”
Dia tertawa kecil. Tidak menjawab. Tapi kemudian:
“Kamu lepas bajumu dong, biar kupakai untuk menutupi kepalaku. Lumayan lho!”
Kami tertawa bersama.
Hampir maghrib dan aku belum mandi. Angin membuat cuaca bertambah dingin. Sial.
Tiba – tiba seorang dengan kacamata, berpakaian rapi dan membawa payung mendekati kami.
“Ayo kita pulang. Aku tadi boncengan dengan Ari dan dia pulang duluan. Kamu bawa motor kan? Aku di depan kamu yang pegang payung, oke?” Dia mengatakan itu pada Ajeng.
“Eh lung, sori, aku pulang duluan ya. Sudah malam. Aku akan kembali ke Malang nanti malam. Kalau aku tidak cepat pulang, aku tidak bisa tidur sebelum berangkat”
“Nggak apa – apa, aku masih banyak teman kok di sini.”
Begitulah. Dia pulang berboncengan dengan cowok itu. Melihat yang demikian aku merasa ada yang aneh dengan diriku. Aku cemburu!
Sekitar lima menit setelah itu aku pun berhujan – hujanan pulang. Di sepanjang perjalanan aku tidak habis pikir. Siapa cowok itu ya? Mungkinkah itu cowoknya Ajeng?
Bahkan ketika aku berbaring untuk tidurpun aku masih memikirkan hal itu. Sudah cukup malam. Dan aku masih berbolak – balik di tempat tidur. Aku tidak rela kalau ada cowok lain yang mendekatinya. Bahkan hanya untuk memandangnya sekalipun.
Rasa cemburu itu membuatku lupa jam berapa aku tertidur. Yang jelas hujan belum juga reda.

0 komentar:

Posting Komentar